MENGENANG TULISAN LUZI DIAMANDA TAHUN 1998: SANGAT PEDAS

Padang, Indonesia
31 Desember 1998
BUNTUT KOLUSI KELUARGA HASAN BASRI DURIN DI PDAM PADANG
Oleh Luzi Diamanda
PADANG — Tumben, pasokan kaporit dan tawas untuk Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Padang yang puluhan tahun dimonopoli itu, pada Juni 1998 PDAM
membuka lelang terbuka untuk pasokan bahan pensteril air. Bagi PDAM yang
dipimpin Taufik Zein sejak 1993, itulah kali pertama diadakan lelang
terbuka. Selama sepuluh tahun kedua jenis barang itu selalu diperuntukkan
bagi perusahaan-perusahaan milik suami istri Asnawi Bahar dan Ilyana Novira.
Masing-masing adalah menantu dan anak Hasan Basri Durin, Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang sebelumnya selama dua
periode, 1987-1992 dan 1992-1997, menjadi gubernur Sumatera Barat (Sumbar).
PDAM Padang, perusahaan air bersih dengan 40 ribu pelanggan, tampaknya
mencoba memperlihatkan sikap reformis. Tender kaporit dan tawas itu sendiri
sempat membuat heboh. Soalnya, para pengusaha yang ikut tender memasukkan
tawaran harga kaporit dan tawas jauh lebih rendah dibanding harga CV Megapak
dan CV Miksan Jaya, masing-masing perusahaan milik Bahar dan Novira.
Penawaran tertinggi para kontraktor untuk kaporit Rp5.800 per kilogram dan
tawas Rp1.800 per kilogram. Sementara, sejak 1995 harga kaporit yang dipatok
Megapak Rp7.275 per kilogram dan harga tawas dipatok Miksan Jaya Rp2.800 per
kilogram.
Buntut lelang yang heboh itu sampai ke telinga pihak Kejaksanaan Tinggi
(Kejati) Sumbar. Maka, kejaksaan pun mencari bukti-bukti kecurangan dalam
penyediaan kaporit dan tawas di PDAM Padang. Hasil pemeriksaan atas dugaan
adanya kecurangan dalam pengadaan kaporit dan tawas adalah ditahannya Zein,
sejak 5 Oktober 1998, yang ditudingkan pihak kejaksaan, akibat dilakukannya
mark-up harga kaporit dan tawas itu, merugikan negara Rp250 juta � itu
hitungan sejak 1993-1997.
Dengan ditahannya Zein, warga masyarakat pun berharap agar Bahar dan Novira
selaku penyuplai kaporit dan tawas selama ini juga ditahan dan didudukkan
sebagai tersangka. Ternyata pihak kejaksaan hanya menahan Zein. Ia menjadi
satu-satunya tersangka dalam kasus korupsi di tubuh PDAM. Sementara Bahar
dan istrinya hanya dijadikan saksi.
Zein, selaku yang didakwa terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di
kantornya, sampai saat ini memilih menutupi keterlibatan pihak lain, seperti
Asnawi Bahar dan istrinya serta Wali Kota Padang Zuiyen Rais dan Durin
sendiri. Menurut sebuah sumber di PDAM, diamnya Zein bisa jadi karena
loyalitasnya pada atasan. Selain itu, dengan tidak membuka rahasia, Zein
berharap atasannya diam-diam akan membelanya. “Taufik punya harapan, dia
dianggap tidak bersalah. Dengan tidak membuka mulut Taufik berharap, Wali
Kota akan membelanya,” urai sumber itu.
Selain itu, diduga diamnya Zein memang sudah diatur dalam sebuah skenario
yang disusun pihak kejaksaan, pejabat, termasuk pengacaranya sendiri. “Ada
harapan dari pengacaranya, kalau Taufik diam dan mengikuti yang dikatakan
Jaksa Penuntut Umum, hukumannya akan ringan. Jika Taufik buka suara, justru
hukumannya tambah berat,” kata sumber itu lagi. Malah, menurut sumber yang
sama, sebetulnya hukuman untuk Zein sudah diatur sedemikian rupa. Pada
putusannya nanti, hakim hanya akan menuntutnya paling berat enam bulan
penjara dipotong masa tahanan.
Sementara pada sisi lain, Kejati Sumbar terlihat setengah hati mengusut
tuntas kasus ini. Sejak kasus terbuka pada Juni 1998, sampai minggu kedua
Desember 1998, Bahar dan Novira masih bebas. “Kami masih memeriksa dan
mencari bukti-bukti, baru menentukan apakah Asnawi Bahar dan istrinya
menjadi tersangka atau tidak,” kata Nono Supriadi, Asisten Intelijen Kejati
Sumbar.
Dari Kaporit ke Korupsi
“Bukti apalagi yang dicari pihak kejaksaan? Sudah jelas Asnawi dan Ilyana
memasok bahan dengan melakukan mark-up harga,” kata sebuah sumber lagi.
Sementara beberapa sumber di kejaksaan mengatakan, Bahar, Novira, termasuk
juga Durin, tidak akan tersentuh hukum. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut
Umum telah mengalihkan kasus mark-up harga kaporit dan tawas ke kasus
korupsi dana representasi. Durin sendiri, pada periode kepemimpinan PDAM
sebelum Zein, pernah menelepon direkturnya dan meminta agar menantunya
diterima sebagai pemasok kaporit dan tawas.
Padahal alasan penahanan Zein, menurut Supriadi, atas dasar dugaan melakukan
KKN semasa jabatannya, terutama soal penyediaan kaporit dan tawas. Setelah
dua bulan ditahan di penjara Padang dan kasusnya mulai disidangkan, tidak
disebut-sebut soal KKN itu. Sidang pertama pada 15 Desember 1998 dan sidang
kedua pada 22 Desember 1998, Jaksa Penuntut Umum, Syamsir Andra, S.H.,
Syamsir A.R., S.H., dan Feritas, S.H. hanya menyebutkan bahwa Zein telah
melakukan korupsi Rp265 juta. Uang yang dikorupsi dana representasi itu
mencakup komisi resmi pembayaran langganan air konsumen, sambungan pipa
baru, uang pindah koneksi, dan penjualan air tunggu.
Menurut dakwaan, dana representasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
Zein terhitung sejak 1995. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 690-1572, dana representasi 75 persen dari total gaji
direksi. Perhitungan dana representasi, 1995, diduga disungkah, dimakan
sendirian oleh Zein. Jumlah dana representasi yang dicadangkan sebesar
Rp36,09 juta. Dalam kenyataan, Zein mengeluarkan Rp81,5 juta.
Untuk tahun 1996, terdiri atas dana komisi resmi pembayaran air konsumen,
sambungan baru, dan hasil penjualan air tunggu, ditetapkan Rp48,34 juta,
sementara yang dikeluarkannya lebih, yakni Rp128.400.000.
Dana representasi 1997 ditetapkan Rp44,35 juta, tetapi dikeluarkan Rp128,4
juta. Sedangkan pada 1998 ditetapkan Rp26,72 juta, dikeluarkan Rp112,9 juta.
Total dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, menurut kejaksaan,
Rp265,78 juta.
Beberapa pegawai PDAM meyakini kalau atasan mereka mengeluarkan dana dari
kas melebihi dana representasi. Sebab, dana representasi juga ada “jatah”
untuk karyawan yang biasa diberikan dalam bentuk tunjangan hari raya (THR).
“Beberapa kali lebaran, rata-rata setiap karyawan cuma dapat THR Rp60 ribu
rupiah,” kata seorang karyawan.
Apakah Zein menikmatinya sendiri? Dari pengakuannya, tidak. Dana
representasi yang dikeluarkannya ada beberapa lembaga dan pihak lain yang
kebagian rezeki, anntara lain Ketua Badan Pengawas PDAM Zuiyen Rais �
sebagai “konsekuensi” sebagai wali kota Padang � sebesar Rp65 juta dengan
bukti sah.
Selain itu, Zein mengatakan bahwa dana yang diambilnya digunakan atau
disetor ke Golkar Padang untuk kampanye 1997, musyawarah pimpinan daerah
(Muspida), tamu-tamu PDAM, dan bantuan untuk Persatuan Sepak Bola Padang,
yakni klub Divisi Ligina Indonesia yang diketuai Rais.
Ketika dikonfirmasikan kepada Rais, ia membantah telah menerima uang
tersebut.
“Taufik menyebutkan dana disetor ke Ketua Badan Pengawas hanya untuk
meringankan tuduhan yang diarahkan pada dirinya. Saya menduga pengakuan itu
diberikan untuk mengaburkan tuduhan yang ditimpakan padanya,” kata Rais.
Wali Kota yang duduk untuk periode dua ini juga menantang. “Mana buktinya
kalau memang dia telah menerima setoran uang dari Taufik. Sampai saat ini
saya belum diperiksa oleh pihak kejaksaan, baik sebagai saksi ataupun
tersangka,” ujar Rais pula.
Pada sidang kedua, yang bergulir di ruang sidang tetap soal korupsi dana
representasi. Zainuddin Mansyur, penasihat hukum Zein, sudah minta agar Wali
Kota dihadirkan di ruang sidang. Tetapi, Jaksa Penuntut Umum memberi alasan
penolakannya. Katanya, Wali Kota mungkin pada waktu lain dihadirkan, karena
tidak bisa bersamaan dengan Zein.
(Luzi Diamanda adalah pengelola Yayasan Suara Publik dan peserta Latihan
Liputan Politik di Medan yang diselenggarakan LP3Y)
SUMBER: SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html