SAKSI AHLI : Kerumunan Keagamaan bukan tindak Kejahatan

Foto : detik.com

www.riaupdate.com

JAKARTA, Pengadilan Negeri Jakarta Timur kembali menggelar sidang lanjutan kasus kerumunan Petamburan dan Megamendung dengan terdakwa HRS Cs, Senin (3/5/2021). Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi yang dihadirkan terdakwa untuk meringankan.

MUSTINYA TIDAK DIPIDANA

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., MH sebagai Saksi Ahli menjelaskan bahwa arti sebenarnya dari nebis in idem adalah nemo debet bis vexari yang bermakna tidak seorang pun atas perbuatannya dapat diganggu atau dibahayakan untuk kedua kalinya. Dasar pikiran atau ratio dari asas ini yakni untuk menjaga martabat dan untuk jaminan kepastian. 

Dengan telah dibayarnya denda administratif sesuai dengan regulasi Pemprov DKI Jakarta, maka menurut asas nebis in idem, seharusnya tidak dapat dilakukan proses hukum. Postulat nemo debet bis vexari menjadi dasar tidak dapatnya dilakukan proses Pengenaan denda oleh Pemprov bermakna adanya pelanggaran sebagai mala  prohibita yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong pelanggaran.

fnn youtube channel video property

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur. Pengenaan denda dimaksud tentu bukan dimaksudkan sebagai mala in se/mala per se, yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang hukum positif atau Undang-Undang, melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, pengenaan denda yang sudah dibayarkan sebagai bentuk pertanggungganjawaban perbuatan yang tergolong mala prohibita tidak dapat lagi dimintakan pertanggungjawaban mala in se. 

Dengan demikian tidak dapat seseorang yang sudah membayar denda administratif diproses hukum kembali dengan ancaman pidana penjara. Hal tersebut tidak mencerminkan “asas kepastian hukum yang adil”

FAKTANYA DAKWAAN JPU TIDAK TERBUKTI

Berkaitan dengan delik penghasutan menurut pendapat Abdul Chair merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dan kemudian ada tindak pidana lanjutannya. Sebagai tindak pidana asal yang akhirnya menimbulkan suatu perbuatan dari orang yang terhasut, maka keduanya jelas berpasangan. Dengan demikian, dalam delik penghasutan diperlukan adanya kausalitas (hubungan sebab-akibat) guna menilai terjadinya suatu peristiwa hukum. Abdul Chair menegaskan jika dalam delik penghasutan tidak terdapat seseorang yang terhasut, maka konsekuensinya Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan.

Fakta dalam persidangan menunjukkan ternyata tidak ada satu orang pun yang berkedudukan sebagai terhasut. Dengan demikian, masuknya pasal penghasutan dipertanyakan. Oleh karena tidak ada seseorang sebagai yang terhasut dan tidak pula ada akibat konkrit yang terjadi, maka dakwaan JPU tidak terbukti.

Pada sidang tersebut HRS mengatakan “Saya selaku terdakwa memohon, untuk menghadirkan ahli karena ini menyangkut nasib saya,” kata HRS pada sesi akhir persidangan. “Karena jaksa ya tinggal nuntut-nuntut saja, kan yang dipenjara saya. Jadi saya mohon diberikan waktu yang luas untuk menghadirkan ahli,” sambungnya. HRS juga meminta Majelis Hakim untuk tidak terburu-buru mengadili perkaranya karena masih dalam suasana bulan puasa. *(thd)

Sumber : klik kata / kalimat berwarna biru



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

ArabicEnglishIndonesian