TANAH Ulayat Masyarakat Pantai Raja Digugat PTPN V, Siapa Takut

riaupadate.com–KAMPAR. TANAH Ulayat milik masyarakat Pantai Raja digugat PTPN V. Sungguh suatu yang keniscayaan, karena yang dilawan oleh masyarakat adalah Badan Usaha Milik Negara yang bernama PTPN V.

Ini terlihat dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Riska Widiana bersama dua hakim anggota, Syofia Nisra dan Ferdi, membuka sidang perdata gugatan perbuatan melawan hukum antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN V) dengan 14 warga Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar, Riau. Walaupun tiga warga menyatakan sepakat berdamai, tapi penuh ketegangan.

Foto Sidang (senarai.or.id)

PTPN V melayangkan gugatan tersebut setelah ratusan masyarakat Pantai Raja menduduki areal afdeling 1 Kebun Sei Pagar, selama hampir satu bulan dengan mendirikan tenda, menutup akses mobil tangki minyak mentah untuk menuju pabrik dan menghalangi aktivitas kebun lainnya pada Agustus tahun lalu. Itu buntut dari konflik saling klaim kepemilikan 150 hektar lahan selama lebih dari 20 tahun.

Konfirmasi dari salah seorang Pengacara Hukum Masyarakat Pantai Raja, Zayanti Roza Syahza SH MH melalui seluler, “iya karena mereka sudah tinggal turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka dan mereka hidup dalam kesatuan hukum adat dan sepatutnya negara menghargai hak-hak adat seperti hak ulayat”, tegasnya.

“Dan hak ulayat itu di akui oleh negara sesuai dengan pasal 3 UUPA No.50 th 1960”, terang Antie biasa disapa menjelaskan.

“ini bisa di ibaratkan berladang di lahan sendiri tapi orang lain yang menggugat”, cetus Antie menutup pembicaraan.

Alasan PTPN V mengajukan gugatan seperti dilansir oleh senarai.or.id adalah:

Tahun 1984, Gubernur Riau mengeluarkan keputusan tentang pencadangan areal hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 20.950 hektar.

Tahun 1986, Menteri Kehutanan menyetujui usulan gubernur.

Tahun 1989, Menteri Kehutanan melepas status kawasan hutan dari areal yang telah dicadangkan tersebut menjadi 21.994 hektare. Letaknya di Sungai Pagar, Kelompok Hutan Sungai Kampar Kanan-Sungai Kampar Kiri, Kecamatan Siak Hulu dan Kampar Kiri.

Pemerintah pusat hendak melaksanakan proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pesertanya adalah masyarakat transmigrasi yang ditandai dengan nama PIR Trans, ditambah masyarakat atau petani sekitar yang disebut PIR Khusus. Sekaligus, pemerintah menunjuk PTPN V sebagai pelaksana proyek.

Ditengah gejolak politik dan krisis ekonomi jelang runtuhnya rezim orde baru, PTPN V hanya dapat membangun kebun kelapa sawit dalam proyek PIR seluas 8.856,841 hektare. Karena tak dapat memperluas kebun lagi, pemerintah kemudian membagi-bagi kebun tersebut.

Petani lokal maupun petani transmigrasi sekitar 2 ribuan orang masing-masing mendapat 2 hektare plus lahan perumahan berikut pekarangannya. Areal yang diperuntukkan bagi petani itu kemudian disebut kebun plasma. Luasnya sekitar 6 ribu hektare. Sisanya 2. 856,841 hektare diberikan pada PTPN V kebun inti sebagai jasa atas pelaksanaan proyek.

Tahun 1999, PTPN V memohon pemberian Hak Guna Usaha (HGU) pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar.

Tahun yang sama, masih dalam suasana awal reformasi, sejumlah masyarakat Pantai Raja menuntut ganti rugi atas penguasaan lahan 150 hektare milik mereka oleh PTPN V di kebun inti. Percekcokan itu menghasilkan berita acara kesepakatan antara masyarakat Pantai Raja dengan Direksi PTPN V, bahwa lahan yang diminta akan dikembalikan pada masyarakat. Kesepakatan dibuat pada 6 April 1999.

Tahun 2001, BPN Kampar akhirnya justru menerbitkan Sertifikat HGU milik PTPN V seluas kebun inti yang diperolah dari hasil pembagian pemerintah tadi.

Tahun 2004, Gubernur Riau kemudian menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk seluruh kebun di PTPN V, baik inti maupun plasma.

Saling klaim terus berlanjut sampai sekarang. Masyarakat Pantai Raja tetap menuntut PTPN V merealisasikan hasil kesepakatan pada 6 April 1999, supaya 150 hektar lahan dikembalikan pada masyarakat.

Pada 30 Agustus 2020, masyarakat Pantai Raja melayangkan surat ke PTPN V supaya tidak memanen buah sawit pada lahan 150 hektare, tepatnya di Afdeling 1, Kebun Sungai Pagar.

PTPN V tetap menolak, karena lahan tersebut pemberian negara dari hasil pembagian pelaksanaan proyek PIR dan belum ada dibebani alas hak sebelumnya. Perusahaan juga merasa tidak punya kewajiban bayar ganti rugi. Selain itu, masyarakat tidak pernah menunjukkan surat kepemilikan lahan berikut luasan masing-masing.

Dalam gugatannya, PTPN V meminta masyarakat Pantai Raja membayar kerugian material serta immaterial Rp 14.506.392.641. Ia dihitung berdasarkan terhentinya aktivitas panen dan angkutan minyak mentah, termasuk kerjasama PTPN V dengan perusahaan rekan kerja lainnya.

Sampai berita ini ditayangkan, belum juga ada konfirmasi dari Humas PTPN 5 Riski. Sebab redaksi riaupdate akan menanyakan dan mengkonfirmasikan kenapa ditempuh jalur hukum jika pernah ada jalur damai pada tahun 1999. Kenapa PTPN 5 menampakkan arogansi pada hak-hak tanah Ulayat masyarakat. Apakah dengan ini pemerintah menyerobot tanah Ulayat. Banyak lagi yang akan ditanyakan. Tapi humas PTPN 5 tidak menjawabnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

ArabicEnglishIndonesian