JANGAN TERLALU MENDEWAKAN JEPANG

Oleh HARUDI TERNATE

Awal
Sekian banyak tulisan saya tentang Jepang. Hampir semua menceritakan sisi positif tentang negeri itu. Dan itu memang nyata. Bukan rekayasa.
Hampir semua yang saya tulis adalah kehidupan sehari-hari yang saya alami sendiri. Sehingga terlihat tulisan saya tidak terlalu investigatif. Kurang mendalam dan tidak secara detail membahas Jepang sebagaimana literatur resmi. Hal ini disebabkan saya hampir tidak pernah membuka literatur tentang Jepang. Sekedar melihat, mengamati dan menuliskan.

Bahwa mereka BAIK bahkan EXCELLENT dalam kehidupan dunia, itu fakta. Tidak bisa dipungkiri. Dan itu sudah menjadi lifestyle mereka.
Anak-anak sampai dewasa membungkuk pada pengendara, memberi hormat sesudah menyeberang jalan adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak kecil.
Mobil semua hampir tidak pernah terdengar membunyikan klakson di jalan. Seperti ada rasa malu memencet klakson. Bahkan saat pertama kali datang saya kira mobil Jepang itu tidak dilengkapi klakson.
Ketika kita berpapasan mobil di jalan dan ada mobil menyalakan lampu jauh, byar-byar, itu artinya mereka memberi jalan kepada kita. Bukan malah pengin didahulukan.

Betapa kita takjub di restoran udon para pembeli “ngringkesi” sendiri peralatan makan yang baru dipakai dan meletakkan di tempatnya. Padahal di sini kita makan mie ayam saja, selesai makan ‘mak klepat’ alias pergi diam-diam.

Bahwa pelajaran tatakrama diajarkan sejak kecil itu fakta dan hasilnya bisa dilihat sejak kecil sampai mereka dewasa kelak.
Demikian juga kebiasaan mereka yang tidak mau mencuri sehingga dompet ketinggalan di bus pun aman.
Antri adalah pelajaran penting bahkan jauh lebih penting daripada Matematika dan Fisika. Sehingga kita bisa melihat tidak adanya saling nrombol naik bus walaupun kondisi berdesakan seperti kereta di Tokyo saat jam sibuk, yang sampai harus ‘diplenek-plenek’ oleh petugas agar pintu kereta bisa ditutup.
Itu adalah sebuah fakta kebiasaan baik mereka yang pantas kita kita tiru. Karena itu semua sebetulnya ada dalam agama kita cuma kita enggan melaksanakan.
Malas.

Namun demikian, akal mereka sebagaimana manusia juga terbatas. Seringkali tidak mampu menjangkau aturan Illahiyah yang memang tidak mereka yakini. Adanya aturan yang longgar masalah ‘hubungan dewasa’, legalisasi miras dan judi dengan jargon ‘asal tidak mengganggu orang’ juga merupakan sesuatu yang tidak boleh kita tiru.
Mereka berprinsip, wong enak sama enak kok dilarang.
Mereka tidak tahu rahasia Sang Pencipta kenapa miras, hubungan dewasa, kok dilarang. Mereka tidak mampu mengambil hikmah itu semua. Dan bebaslah mereka. Sehingga saat ini keinginan orang sana untuk menikah tergolong rendah. Demikian juga angka kelahiran.
Mereka tinggal dengan keluarga inti (bapak ibu anak) dan meninggalkan orang tua di panti Jompo. Itu semua dianggap sebagai kebaikan. Padahal kalau menurut kita, sungguh tidak tega.

Angka stress yang tinggi. Banyaknya anak sampai dewasa yang mengurung diri asosial. Sampai dengan angka bunuh diri yang tinggi adalah sebuah bukti bahwa kehidupan Fisik saja belum cukup, perlu kehidupan batin yang lebih nyaman.

Analogi
Kita punya instrumen hidup yang lebih lengkap. Ada agama yang mengatur kehidupan dunia akherat.
Terus terang saja, SEMUA cara hidup orang Jepang itu, ada dalam agama yang mulia. Dalil lengkap. Kitab bertumpuk.
Tentang memuliakan tetangga.
Tentang tatakrama di jalan. Bahkan menyingkirkan duri di jalan saja ada haditsnya.
Pokoknya – saya yakin – ada semua.
Cuma penganutnya yang enggan melakukan.

Banyak orang getol dalam beribadah tetapi nol pelaksanaan. Itu bukan berarti kemudian ibadah tidak perlu yang perlu adalah muamalah. Bukan.
Yang tepat adalah beribadah yang baik serta bermuamalah yang baik.
Apa-apa dari bangsa Jpn yang baik dan sesuai agama kita, pantas kita tiru wong sebetulnya itu ada dalam agama kita.
Namun walaupun baik menurut mereka tetapi haram menurut kita, ya jangan ditiru.Contohnya menuang sake (miras) ke orang lain itu perbuatan baik. Tetapi bagi kita itu masuk dalam 10 golongan yang dikutuk berkaitan dengan miras.

Penutup
Mengambil yang baik dari sisi muamalah orang Jpn adalah baik tetapi sesuaikan dengan agama.
Jangan terlalu MENDEWAKAN dan meniru semuanya karena bisa jadi ada yang tidak cocok.

Jangan pula merasa lebih hebat karena punya agama sehingga sinis dengan orang sana.
Takutnya kita merasa lebih hebat, padahal muamalah hancur sedangkan ritual ibadahnya sama ancurnya.
Ambyar kalau seperti itu.

Ichihara Sensei dari Lab sebelah pernah bertanya kepada saya, pada saat campus tour ke Temple. Beliau berdoa sambil melempar koin dan menepuk tangannya.

“Harudi san, kami sembahyang setiap tahun sekali. Atau sambil tour seperti ini. Sedangkan orang islam 5 kali sehari. Tentu cara hidup dan akhlak kalian jauh lebih baik daripada kami”.

Aku tersenyum. Sambil mengangguk.
Tetiba mata terasa brambang.

Harudi Sang Pembelajar
Kembali ke Laptop

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.